Ribbon’s Love

“Omma, mana tehnya??” aku berteriak. Aku memang selalu begini jika di meja makan tidak ada teh. Ya, aku memang suka sekali dengan teh. Setiap hari aku pasti meminumnya.

Omma segera menyiapkan teh. Aku langsung meminum teh itu sampai habis dalam sekali tegukan. Setelah itu aku mengecup kening ommaku dan pamit ke sekolah.

“Makasih omma, teh buatan omma enak banget! Aku pergi ke sekolah dulu ya omma!”

“Ya hati-hati.” Omma tersenyum. sesaat aku melirik jam. Gawat! Aku bisa terlambat!

“Huwaaa kenapa udah jam segini?? Aku pergi sekarang omma! Gawat…gawat…”

Aku langsung berlari ke halte bus. Sebenarnya kami punya mobil, tapi mobil itu dipakai appa dan oppaku yang kuliah tadi. Terpaksa aku harus naik bus. Setelah sampai di halte bus, aku masih harus menunggu. Aku menunggu dengan gelisah. Sedikit-sedikit aku melirik jam tanganku. Setelah sekitar 5 menit menunggu akhirnya bus itu datang. Aku langsung naik dan mencari tempat duduk. Sial! Tidak ada lagi tempat duduk yang kosong! Terpaksa aku harus berdiri. Ukh, pagi ini benar-benar menyebalkan!

Aku melihat-lihat ke sekeliling bus. Aku memperhatikan siapa saja yang menumpang bus ini. Mataku pun melihat seorang cowok SMA yang sepertinya seumuran denganku sedang duduk di dekatku sambil membaca buku. Cowok itu memakai kacamata. Hhmmm…cakep juga sih. Hehehehe…

Tiba-tiba cowok itu berdiri. Dia berdiri di dekatku. Aku menatapnya bingung.

“Kenapa diam? ayo duduk di sana.” Dia menunjuk kursi yang tadi di dudukinya. Aku pun duduk di kursi itu.

“Gomawoyo.” Cowok itu tersenyum. hanya sebentar. Setelah itu dia langsung membaca bukunya lagi. Dari seragamnya sih, dia bukan murid sekolahku. Hhmmm…anak Naran high school. Agak jauh juga dari sekolahku.

Aku melirik jamku lagi. Sudahlah, aku sudah dipastikan akan terlambat. Wah, halte bus tujuanku sudah dekat. Setelah turun dari bus aku langsung berlari ke sekolah. saat berlari aku teringat sesuatu. Aku lupa menanyakan nama cowok itu! bodohnya aku. Ah tapi sekarang aku ga boleh mikirin itu. sekarang aku harus mikirin gimana caranya supaya bisa lolos dari penjaga gerbang.

Huwaaahh…sekolahku sudah terlihat. Aku menambah kecepatanku. Gerbang nyaris tertutup. Aku berlari hendak menerobos gerbang itu namun, seseorang lebih dulu masuk dan aku terkunci di luar. Sial! Siapa sih yang berani nyerobot??

Aku melihat ke dalam gerbang. Gi kwang memeletkan lidahnya padaku. Dia mengejekku. Sialan.

“Lee Gikwang!!! Sialan kau!!” cowok bernama Gikwang itu tertawa. Dia berlari ke kelasnya. Ukh, aku memegang gerbang dengan pasrah. Aku pun berjalan menjauhi gerbang itu. hhmmm…aku tau satu jalan pintas! Aku berlari ke samping sekolah. setelah celingak-celinguk aku pun memanjat pagar hidup itu.

“Hup ah..” aku meloncat ke dalam halaman sekolah.

GABRUKK…

O-ow…I’m in trouble….

Aku melihat ke bawahku. Apa?? Gikwang? Gawat! Aku jatuh menimpa Gikwang!

“Heh monyet, lihat-lihat kalau mau terjun bebas. Jangan timpa aku.”

“Hyaaaa!!!” aku langsung melompat menjauh. Aku deg-degan. Tapi kenapa Gikwang ada di sini ya? bukannya tadi dia lolos?

“Heh, siapa yang kau panggil monyet hah? Aku punya nama dan namaku Lee Sunghee!”

“Monyet monyet monyet…”

“Aaarrrgghhh! Tapi kenapa kau bisa ada di sini?”

“Aku kan sudah mendaftar sekolah di sini.”

“Bukan itu maksudku bodoh. Tadi kau kan lolos. Kenapa bisa nyasar ke sini?”

“Soalnya aku tau kalau telat kau pasti lewat sini. tadinya aku mau ngeblokir jalan ini, tapi aku ga tau caranya gimana. Eehhh tiba-tiba kamu dateng. Ya sudahlah. Lain kali saja aku blokir tempat ini.” Aku mendengus kesal. Gikwang ini memang menyebalkan dari dulu.

“YAH! Lee Sunghee dari kelas 2-1 dan Lee Gikwang dari kelas yang sama! Ngapain kalian di sana hah?!”

Kami menoleh. Pak Jiyoung, guru yang terkenal killer satu sekolahan berdiri agak jauh dari kami. Hahh…benar-benar pagi yang buruk.

“Lari keliling lapangan 100 kali sepulang sekolah!” kami membuang nafas pasrah mendengar hukuman itu. sudah sering aku mendengarnya. Memangnya tidak ada hukuman lain apa? misalnya dihukum pacaran sama Kim Jongwoon penyanyi terkenal gitu. Kan kreatif.

“Sekarang kalian kembali ke kelas! Sepulang sekolah kalau tidak lari hukuman bertambah!”

“Ok songsaengnim…” kami pun berjalan ke kelas kami. Sampai di pintu kelas tidak ada yang membuka pintu.

“Kau saja yang membuka pintu.” Gikwang menyuruhku.

“Enak saja. Kau saja yang membuka.”

“Kau saja.”

“Biasanya kan cowok yang ngebukain pintu buat cewek.”

“Oh kamu cewek toh? Baru tau.”

“APA??”

“Iya iya, kita udah bikin banyak keributan. Aku ga mau bikin ribut lagi sama kamu. Udah sana bukain pintu.”

“Kenapa harus aku? Kau saja!”

“Kau.”

“Kau saja”

“Lebih baik kau.”

“Kurasa bagusan kau.”

“CUKUP!!” pintu terbuka lebar. Miss Yeonhee menatap kami garang. Aku membuang nafas. Pasti dimarahi lagi.

“Sudah cepat duduk di bangku kalian masing-masing!” kami pun berjalan ke arah yang sama. Kami duduk secara bersamaan. Cih, aku langsung membuang muka. Aku terpaksa duduk di sebelah Gikwang. Karena waktu hari pertama masuk aku telat dan Gikwang juga telat. Akhirnya kami harus duduk sebangku. Soalnya ga ada lagi bangku kosong kecuali satu bangku di belakang.

“Ya sudah kalian berdua, cepat buka halaman 130.” Aku langsung membuka halaman tersebut. Aku melirik Gikwang. Dia masih mengubek-ngubek tasnya. Sepertinya dia tidak membawa buku itu. akhirnya dia hanya mengeluarkan buku tulis. Aku langsung menggeser bukuku ke tengah meja. Agar Gikwang juga bisa melihatnya. Sekilas dia menatap ke arahku. Dia lalu langsung fokus ke buku.

Bel istirahat pun berdering. Aku langsung menarik Chaerin ke kantin.

“Chaerin!! Ayo antar aku beli teh!”

“Ga baik minum teh tiap hari tau!”

“Biarin. Aku suka banget sama teh.”

“Ya sudah.” Chaerin pun pasrah kutarik ke kantin. Sampai di kantin Chaerin langsung makan di kursi. Sementara aku membeli teh dulu. Setelah itu aku langsung duduk bersama Chaerin.

“Aku benci teh.” Gikwang duduk di sebelahku. Dia langsung menyantap makanan yang dibawanya. Dia datang bersama Minho. Minho langsung menyapa Chaerin lalu makan makanan yang dibawanya sambil sesekali bercanda dengan Chaerin.

“Heh, siapa yang meminta pendapatmu? Ngapain kau duduk di sini??” dengusku.

“Singkirkan teh itu.” Gikwang menunjuk teh yang ada di hadapanku.

“Apa urusannya denganmu? Teh itu milikku.”

“Karena aku benci teh.”

“Siapa suruh membenci teh??”

“Yahh…” dia tiba-tiba berdiri dan berjalan menuju tempat mesin penjual minuman yang ada di dekat meja kami.

“Hah? Yahh..salah beli.” Aku melirik Gikwang. Dia membeli teh.

“Kau bilang kau membenci teh.”

“Sudah kubilang tadi aku salah beli. Ya sudahlah, aku tidak punya minum lagi. Eh apa ini? Pita? Hadiah maksudnya? Masa beli teh berhadiah pita?” aku menatap Gikwang yang berceloteh sendiri. Di tangannya ada sehelai pita berwarna merah. Gikwang berjalan ke meja kami dan menyimpan botol teh itu. Tiba-tiba dia mengangkat tangan kananku. Dia memasangkan pita itu di tanganku. Aku deg-degan. Perasaan apa ini? Kenapa aku harus deg-degan? Itu kan hanya Gikwang, musuh bebuyutanku.

Pita itu pun menempel manis di pergelangan tanganku. Gikwang mengangguk-ngangguk. Menganggumi hasil ikatannya sendiri.

“Cocok sekali,” Aku langsung deg-degan lagi. Wajahku memerah. Aku langsung menunduk untuk menyembunyikan wajahku.

Jam istirahat pun berakhir. Kami langsung kembali ke kelas. Aku langsung duduk di sebelah Gikwang. Aku menatap keluar jendela di sebelahku. Aku melihat Jonghyun, anak kelas sebelah sedang berolah raga. Dia bermain basket. Sebenarnya dari dulu aku sudah menyukai Jonghyun. Tapi aku ga berani menyatakannya.

Tiba-tiba ada seseorang yang mendorongku. Aku hampir terjatuh dari kursi. Aku berbalik. Gikwang memamerkan giginya yang putih. Lalu dia memasang tampang mengejek. Aku tersenyum. lalu..

BUAAGH…

Pukulanku tepat mengenai perutnya. Aku tersenyum puas.

“Heh monyet, biasa aja deh. Aku cuman ngedorong kamu kok balesannya pukulan sih??”

“Siapa suruh ngedorong hah??”

“Habisnya dari tadi kau melamun! Aku takut kau kesurupan! Nanti gimana nasibku kalau kau kesurupan hah?”

“Lee Gikwang!!!” aku memukul lengannya keras. Dia mengaduh sambil memegangi lengannya. Aku mendengus kesal dan langsung mengalihkan pandangan. Aku melihat keluar jendela lagi. Aku menatap Jonghyun. Tanpa sadar dia juga menatapku. Tatapan kami bertemu. Dia tersenyum. aku membalas senyumnya dengan gugup. Wajahku memerah.

“Lihat apa heh??” Gikwang langsung mendekatiku. Dia berdiri di dekatku. Aku bisa merasakan jantungnya di atas kepalaku. Debaran jantungnya sangat cepat. Apa dia deg-degan karena aku? Haduh..aku ini mikir apa.

“Apaan? Cuman anak sebelah maen basket doang.”

“Emang.”

“Ngapain senyam-senyum?”

“Karena ada Jonghyun. Kyaa…Jonghyun kereenn.” Gikwang menatapku. Tatapannya berbeda. Kali ini aku tak bisa mengartikan tatapannya. Aku menatap gelang pita di tanganku. Aku tersenyum tipis.

Bel pulang akhirnya berbunyi. Aku berjalan keluar kelas. Seseorang menepuk pundakku dari belakang. O-ow…pak Jiyoung.

“Hukuman.”

“Ne, songsaengnim…”

“Mana yang satu lagi?”

“Sebentar. Lee Gikwang!!!!!” aku berteriak. Gikwang langsung menghampiriku. Kami pun disuruh berlari. Dengan pasrah akhirnya aku berlari bersama Gikwang. Saat berlari aku melihat Jonghyun di pinggir lapangan. Dia tersenyum padaku. Aku ikut tersenyum. tanpa sadar aku terjatuh. Ada yang mendorongku. Pergelangan tanganku tergores batu tajam. Aku meringis kesakitan. Gikwang langsung menghampiriku.

“Heh monyet, kenapa kau?”

“Aduuhh…ada yang mendorongku tadi…”

“Kau tidak apa-apa?” Jonghyun berlari menghampiriku. Wajahnya terlihat khawatir.

“Ayo kuantar ke UKS.” Jonghyun menarik tanganku lembut. Aku berdiri.

“Sunghee, tadi kau baru berapa puteran?”

“50.”

“Biar aku teruskan. Nanti kau tidak perlu lari lagi.”

“Gomawo.” Gikwang pun berlari 150 puteran. Padahal wajahnya sudah terlihat capek sekali tadi. Dan dia masih harus berlari lagi sampai puteran ke 150. Ternyata dia baik.

Di UKS Jonghyun mengobati lukaku. Saat dia mau membuka gelang pitaku, aku menahannya.

“Jangan dibuka!”

“Kenapa? aku mau mengobati luka di pergelangan tanganmu. Pita ini harus dibuka. Nanti aku pasangkan lagi.”

Kalau pita itu dibuka harus Gikwang yang memasangnya lagi…

“Apa ga bisa dibiarin di situ aja?”

“Bakalan susah. Pita ini ngalangin. Aku buka ya.”

“Jangan…”

Tiba-tiba tangan seorang cowok membuka ikatan pita itu. aku menatap Jonghyun garang. Kedua tangannya diam saja. Berarti bukan Jonghyun. Aku mendongak. Gikwang! Wajahnya merah. Mungkin karena kepanasan dan kecapekan habis lari. Keringatnya bercucuran dan rambutnya terlihat basah. Itu malah membuatnya keren. Pita itu pun terlepas. Dia memegangnya. Jonghyun langsung mengobati luka di tanganku. Setelah itu dia pun pergi. Tinggal aku dan Gikwang di UKS.

“Merepotkan saja.” Gikwang memasangkan pita itu di rambutku. Wajahku memerah.

Gikwang menatapku. Dia kemudian tersenyum.

“Cocok.” Aku deg-degan. Aku menunduk.

“Heh, kenapa kamu, nyet? Malu jadi monyet?”

“Kenapa kamu selalu manggil aku monyet hah??”

“Memangnya kenapa? cocok kok.”

“Cocok dari mana? Harusnya Eunhyuk yang dipanggil monyet.”

“Eunhyuk? Anak kelas 2-4?”

“Ya ya ya…dia cocok dipanggil monyet.”

“Hmm…aku inginnya kamu yang dipanggil monyet.”

“Lalu aku harus memanggilmu apa? hhmmm…ikan…ngga, monyet…udah dipake, rakun…bukan, apa dong??”

“Hahaha…ga ada binatangyang cocok sama aku!”

“Kodok! Haha, mulai sekarang aku panggil kau kodok!”

“Kenapa jadi kodok?”

“Suaramu itu mirip sama kodok. Hahahahhaa..”

“Dasar monyet.”

“Kodok kodok kodok…” aku mengejeknya terus. Dia balik mengejekku. Tanpa terasa hari sudah sore. Sudah agak gelap malah. Aku kaget dan mau berlari pulang. Gikwang mengantarku pulang. Saat di jalan…

“Haduh haduhh…kenapa bisa sampe kemaleman gini sih??” aku ngedumel sendiri.

“Kamu sih…”

“Kenapa nyalahin aku, kodok??!”

“Lalu aku harus nyalahin siapa lagi? Jonghyun? Aahh…Jiyoung songsaengnim.” Aku tertawa.

Langit malam kali ini terasa indah. Apa karena ada Gikwang di sampingku? Rasanya aku mulai menyukainya. Soal Jonghyun….entahlah.

“Eh? Aduh aduh aduhh…aku ini mikir apa sih??” aku ngomong sendiri. Gikwang menatapku heran. Dia tiba-tiba berhenti dan menarik tanganku. DEG. Dia mendekatiku. Tangannya diarahkan ke atas kepalaku. Dia membetulkan pita yang ada di rambutku. Aku deg-degan. Dia dekat sekali denganku. Setelah selesai dia mengajakku jalan lagi.

“Pitanya jangan lepas ya. cocok sekali dipake kamu.” Aku mengangguk.

———————————

Hari ini aku berangkat lebih pagi. Di bus aku melihat cowok itu lagi. Aku tersenyum menyapanya. Dia balas tersenyum. aku duduk tidak jauh darinya.

“Eng…kalau boleh tau, siapa namamu?” aku bertanya.

“Namaku? Kim kibum.”

“Ahh…nama yang bagus.” Dia tersenyum. dia tidak bertanya namaku siapa.

“Kamu sudah kenal siapa aku?” tanyaku penasaran. Dia menggeleng.

“Lalu kenapa tidak bertanya siapa namaku?”

“Aku hanya tau namamu Sunghee dari gantungan di tasmu.”

“Aaahh…ne ne…” aku mengangguk-ngangguk. Dia serius ke bukunya. Aku menyerah mengajak dia mengobrol.

Di sekolah…

“Monyet, tumbenan ga telat.”

“Kau sendiri juga tumben, kodok.” Dia tertawa.

Saat istirahat aku membeli teh lagi. Gikwang menatapku.

“Sebenarnya apa enaknya teh sih?”

“Rasanya enak.”

“Oh. itu saja?”

“Yup.”

Gikwang menatapku dengan tatapan jijik.

“Kenapa heh??”

“Ga…kuperhatikan makin hari kau makin mirip monyet.”

“Hmm…ngajak perang.” Aku langsung memukul perutnya. Dia terjatuh. Kantin heboh. Alhasil, aku pun dipanggil ke ruang guru. Benar-benar sial.

Keesokan harinya…

OH MY GOD. Aku terlambat lagi. Setelah minum teh aku langsung berlari ke halte bus. Di bus aku bertemu cowok itu lagi.

“Annyeong Kibum.”

“Annyeong.”

“Boleh aku duduk di sebelahmu?”

“Tentu saja.” Aku pun duduk di sebelahnya. Aku ingin menceritakan sesuatu tapi aku tidak tau apa. aku memperhatikan Kibum yang sedang membaca buku.

“Buku apa sih yang kau baca? Setiap hari baca buku melulu.”

“Science fiction.”

“Ahh…bukan bukuku banget.” Kibum hanya diam.

“Kalau kamu suka baca buku apa?”

Eh? Barusan Kibum nanya ke aku? Uwaa…ini pertanyaan pertama dari dia.

“Aku suka baca novel.”

“Oh.”

Ga kerasa aku sudah sampai tujuan. Dari halte aku berlari ke sekolah. fiiuuhh…aku lolos. Aku langsung berlari ke kelas. Aku langsung duduk di bangkuku.

“Telat lagi ya, nyet? Baru aja kemaren ga telat langsung telat lagi. Dasar monyet payah.”

“Apaan sih?? Jadi kodok aja belagu!”

“F**k you.”

“What?? What the h*ll!!”

“WTF, WTH, je*k.”

“WTF?? Jeez, you bas**rd!!”

“Go to hell!”

“You go first!”

“What the?!”

“What??”

“ENOUGH!!!” Chaerin berteriak.

“SHUT UP.” Ucap kami berbarengan. Chaerin menggebrak meja dengan kesal.

“Heh!”

“What??”

“Go to hell monkey.”

“I said u go first, frog!”

“What the he*k.”

“It’s enough, monkey!”

“Okay fine!” aku mau keluar kelas tapi dia menghalangi jalanku.

“Get out of my way!!”

“For what?”

“Just go!!” aku mendorongnya. Dia hampir terjatuh. Dia menabrak seseorang. Hyeori.

“Diem ih kalian!! Guru dah mau dateng tau!”

Aku menatap Gikwang kesal. Dia juga begitu. Dengan terpaksa aku duduk di sebelahnya. Di bangkuku. Kami membuang muka. Anak satu kelas hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah kami. Selalu begitu.

Saat pulang sekolah…

“Heh monyet, aku mau ngomong sesuatu. Ayo ke halaman belakang!” Gikwang langsung menarikku. Apa-apaan ini?? Aku pasrah diseretnya. Sampai di halaman belakang dia melepaskan genggaman tangannya. Dia menatapku.

“I hate you.” Ucapnya dingin.

“Huh? Hanya karena ingin ngomong gini kau menarikku ke sini? lagipula aku sudah tau kau membenciku.”

“I want you.”

“Apa?”

“I need you.”

“Eh?”

“I…love you.” Aku tercekat. Wajah Gikwang memerah. Aku berdebar-debar. Apa ini? Apa Gikwang lagi main-main?

“Jangan bercanda deh…”

“Aku serius.”

“Masa??”

“Ne, saranghae.” Aku menunduk.

“Mianhae…”

“Wae??”
“Aku harus pergi. Ke America.”

“Gajimayo…”

“Mianhae…”

“Gajimayo Gikwang ah…” Dia tersenyum.

“Heh monyet, ga usah nangis gitu. biasa aja deh.”

“Mana mungkin aku ga nangis?? Kalau kodok pergi aku mau berantem sama siapa?” Dia tertawa lemah.

“Berantem sama kodok asli aja.”

“Ga asyik. Disangka gila lagi ntar.”

“Siapa suruh.”

Dia pun berbalik. Perlahan dia berjalan menjauhiku. Aku langsung tersadar.

“Gikwang ah!! Saranghaeyo..” Dia menoleh dan tersenyum. kemudian dia berjalan lagi. Aku terduduk. Pita di rambutku terjatuh.

“Pitanya jangan lepas ya. cocok sekali dipake kamu.”

Mianhae Gikwang ah…pitanya lepas. Aku langsung melihat ke arah Gikwang menghilang. Sudah tidak ada. Aku menggenggam pita itu. aku mendekap pita itu di depan dadaku. Aku bisa merasakan kehangatan Gikwang lewat pita ini.

7 bulan kemudian…

Hyaaaa…aku terlambat! Gerbang sudah ditutup! Terpaksa lewat jalan pintas itu lagi.

“Hup…aduh…kok pagernya jadi tinggi ya?” aku berusaha memanjat pagar itu. dan aku pun berhasil. Aku loncat ke dalam halaman sekolah.

GABRUK…

Ups…

“Heh monyet, liat-liat dulu kalau mau terjun bebas!”

Hah? Kata-kata ini…

Aku melihat orang yang ada di bawahku. Aku terkejut sekaligus gembira.

“Kodooooookkk!!!” aku memeluknya. Lee Gikwang, kodokku telah kembali. Dia tertawa. Dia balas memelukku.

“Heh, kemana pitamu?”

“Waktu itu lepas. Yang boleh masangin pita itu cuman kodokku tersayang.” Aku tersenyum. aku mengulurkan pita itu ke Gikwang.

“Merepotkan saja.” Dia memasangkannya di rambutku. Aku tersenyum bahagia.

“Ngomong-ngomong tadi aku beli teh berhadiah ini. Tapi pitanya warna biru. Pasangin. Cuman kamu yang boleh masangin pita ini.” Aku mengambil pita yang diulurkan Gikwang. Aku mau memasangkannya di rambutnya tapi dia langsung menghindar. Aku tertawa.

“Kau ini apa-apaan? Pakaikan di tangan!!”

“Iya iya.”

Aku pun mengikatkan pita itu di pergelangan tangannya.

“Tapi kenapa kamu mau beli teh?”

“Supaya aku bisa dapetin pitanya. Kita jadi bisa kembaran.” Aku tertawa.

“Tehnya masih ada?”

“Tuh, utuh.” Dia menunjuk botol teh dengan dagunya. Aku mengambil botol teh itu.

“Buat aku ya!” dia mengangguk. Aku meminum teh itu sampai habis dalam satu tegukan. Dia menatapku takjub.

“Teh sebanyak itu…kau…ternyata monyetku ini rakus ya…” Aku tertawa. Lalu aku menonjok lengannya. Dia tersenyum.

“I love you.” Ucapnya.

“Love you too.”

“I miss you.”

“Miss you too.”

“I need you.”

“Need you too.”

“I…don’t want to lose you.” Aku tersenyum.

“So, jangan biarkan aku kabur!” Aku langsung berlari. Dia mengejarku.

“YAH! Lee Sunghee dari kelas 3-1 dan Lee Gikwang dari kelas yang sama!! Lari keliling lapangan 100 kali!!”

Kami tertawa mendengarnya. Kami terus berlari ke kelas kami sambil tetap tertawa. Tidak mengindahkan Jiyoung songsaengnim.

“Saranghaeyo my monkey!!!”

“Saranghaeyo my frog!!”

“Adeeuuuhhhh…prikitiw!!!”

Gikwang tiba-tiba berhenti. Dia menatapku. Aku balik menatapnya. Dia pun menciumku. Sekitar kami langsung heboh. *Back sound music: Butterfly by GD*

“It’s about you my monkey.” Gikwang melepaskan ciumannya. Dia pun menyanyikan sebuah lagu yang sangat romantis. Aku tersenyum bahagia.

Every time i come close to you

Every time i’m loving you

Feel like i’m gonna dream every time

I get butterfly…

The end

by: yesunghee

Tinggalkan komentar